Tak Ada Salam Perpisahan, Bloomberg TV Indonesia Dililit Krisis Finansial

Di YouTube kita bisa temukan banyak video ketika sebuah stasiun televisi akan berakhir siarannya. Bukan berakhir untuk berjumpa lagi esoknya, tapi berhenti beroperasi secara keseluruhan. Tapi, kita tidak akan menemukannya ketika mencari video perpisahan dari Bloomberg TV Indonesia.

Perbincangan soal bubarnya Bloomberg TV Indonesia masih cukup hangat bagi sebagian orang, terutama pemirsa setianya. Sebagian orang mempertanyakan berakhirnya siaran dari Bloomberg TV Indonesia, malahan banyak yang belum tahu bahwa Bloomberg TV Indonesia yang sering disingkat BTVID di kalangan penghuni davenirvana1 World itu sudah tidak lagi beroperasi. Isunya, krisis finansial mendera perusahaan. Kalau Anda salah satu yang mendengar isu tersebut, bolehlah kita duga bahwa isu itu bukan sekedar isapan jempol belaka.

Penelusuran saya di sosial media menemukan bahwa Menteri Ketenagakerjaan menemui karyawan ex-BTVID. Rupanya, sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan gaji dan pesangon. Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa memang BTVID mengalami kesulitan pendanaan.

Kalangan pengamat amatiran untuk urusan media, khususnya televisi, seperti saya ini, sudah sering mendengar bahwa BTVID adalah salah satu televisi dengan gaji terbesar di negeri ini. Dengan gaji yang besar, iklan yang masuk ternyata masih sedikit, bahkan cenderung tidak ada. Secara sederhana, kita bisa mengingat kembali bahwa ada sebuah peribahasa “besar pasak daripada tiang”. Mungkin, mungkin lho ya, ini yang terjadi pada BTVID.

Staf khusus Menteri Ketenagakerjaan berencana menemui pemegang saham terbesar di BTVID, menagih janji agar gaji karyawan serta pesangonnya segera dibayarkan. Mungkin ini akan menjadi kesulitan tersendiri bagi si pemilik saham itu. Tapi, apapun, semoga segera terealisasi, sehingga permasalahan ini cepat selesai.

Masih menjadi misteri bagi saya mengenai rencana akuisisi BTVID oleh Bosowa Group dari Makassar yang ingin punya 55% saham stasiun pemegang lisensi Bloomberg Television itu. Apa sesungguhnya yang membuat kabar akuisisi ini menguap begitu saja? Katanya akuisisi ini akan selesai dalam 2 bulan sejak Desember 2014 lalu. Kalau ada yang tahu jawabannya, boleh berbagi kabarnya di sini.

BREAK!NG NEWS: Bloomberg TV Indonesia Berakhir

Boleh disebut berlebihan, tapi saya harus sampaikan bahwa ini adalah tulisan dengan perasaan terberat yang pernah saya tulis sepanjang saya menulis di blog ini, tapi memang inilah kenyataannya, sebuah kenyataan yang masih sulit untuk saya percaya walaupun memang sudah terprediksi beberapa waktu terakhir.

Indonesia baru saja kehilangan salah satu TV franchise terbaiknya. Saya akan jelaskan kata “terbaik” dari sudut pandang saya ini nanti, tapi, sebelum lebih jauh, saya tulis inti dari artikel ini: Bloomberg TV INDONESIA tidak lagi beroperasi.

Selasa, 25 Agustus 2015 malam, perbincangan atau spekulasi mengenai nasib keberlanjutan stasiun yang biasa disebut BTVID ini mulai menghangat di grup davenirvana1 World. Sebenarnya, tema dari perbincangan adalah masalah hilangnya rtv dari line up channel BiG TV, yang kemudian diikuti oleh hilangnya Bloomberg TV Indonesia. “curhatan” ini kemudian saya tanggapi dengan “apakah kontraknya yang habis atau siarannya yang bubar”. Spekulasi ini saya lontarkan lantaran BTVID makin sering menayangkan siaran Bloomberg International. Selain itu, eksodus dalam jumlah besar (sebenarnya jumlahnya tidak besar tapi secara persentase menjadi besar) para presenternya memperkuat spekulasi saya.

Analisa lain dari saya adalah, belajar dari “kesalahan” MTV Indonesia yang sempat ramai dibahas di twitter, yaitu menjadikan MTV Indonesia sebagai TV FTA di Indonesia, sedangkan MTV Indonesia memiliki pasar yang terlalu spesifik, sekalipun kontennya sangat populer. Nah, hal yang sama terjadi di Bloomberg TV Indonesia, tapi kondisinya lebih parah, karena pasar yang terlalu spesifik (bahkan cenderung tidak jelas) dan kontennya kurang populer, atau mungkin lebih tepatnya sulit untuk menjadi populer di Indonesia. BTVID mengikuti jalur yang digariskan Bloomberg Internasional, menjadi televisi berita bisnis terutama bisnis makro, sedangkan masyarakat di Indonesia secara umum tidak terlalu tertarik dengan hal-hal macam bisnis makro karena pemerintah sendiri juga lebih mengarahkan masyarakat ke bisnis UMKM ketika ingin menjadi wirausahawan. Akhirnya, program “Start Up” menjadi program yang paling tepat dan bisa merebut hati sebagian pemirsa, selain tentunya berita tentang teknologi dalam “TechNow”.

Sorotan lain dari teman-teman di grup adalah pilihan Bloomberg TV Indonesia untuk terjun ke siaran berbasis FTA terestrial dengan merangkul jaringan TV lokal yang secara merek belum kuat, yaitu jaringan Ctv Network, yang induknya adalah Ctv Banten. Dari saya, keputusan untuk menjadikan BTVID sebagai TV yang juga disiarkan FTA terestrial adalah hal yang berat, karena secara tidak langsung BTVID masuk dalam alam persaingan yang sangat keras. Seharusnya, BTVID dirancang untuk jadi TV yang idealis, dalam artian, tidak perlu FTA, tapi cukup terbatas. Dengan mengudara di TV berbayar saja (walaupun BTVID tidak mungkin menarik biaya lisensi dari operator TV berbayar), setidaknya BTVID tidak perlu bersaing dengan sekian TV FTA dari Jakarta yang bersiaran nasional, dan bahkan bersaing dengan TV lokal yang lebih memahami kebutuhan pemirsa lokal suatu daerah, kalau memang kita mau menyebut TV-TV Jakarta yang bersaing rating itu hanya menjual mimpi dengan sinetron-sinetron yang ceritanya sebenarnya cenderung tidak masuk akal itu. Dengan membatasi diri, BTVID akan memiliki pasar yang lebih jelas: pemirsa kelas atas yang rela keluar duit tiap bulan demi prpgram yang tidak ada di FTA. Mungkin juga bukan kelas atas, tetapi pemirsa ekonomi menengah yang memahami kebutuhannya sendiri sehingga menggunakan TV berbayar. Dengan demikian, walaupun secara kepemirsaan kuantitasnya tidak besar, tapi kualitas penontonnya lebih jelas, sehingga pemasang iklan untuk brand kelas atas bisa saja bayar mahal agar iklannya dipasang di BTVID.

Bicara tentang idealis dan tidak, setidaknya harus kita akui, MNC BUSINESS yang secara konten berada di jalur yang sama (berita bisnis) lebih baik, karena masih bertahan sampai saat ini. Sekalipun kelasnya hanya in-house, tapi idealisme inilah yang justru membuat MNC BUSINESS masih bertahan, tetap mengudara walaupun secara terbatas saja, malahan berhasil dikerjasamakan dengan Bursa Efek Jakarta dan diubah namanya menjadi iBCM CHANNEL.

Tanggal 25 Agustus 2015 malam itu, saya masih merasa yakin Bloomberg TV Indonesia masih mampu untuk bertahan dan tidak akan tutup.

Keesokan harinya, 26 Agustus 2015, walaupun belum saya pastikan, tapi beredar kabar bahwa BTVID telah berhenti siaran. Pembicaraan mengenai hal ini makin ramai, walaupun hanya riuh rendah saja, tapi setidaknya tidak serendah hari sebelumnya.

Kamis malam 27 Agustus 2015, saya mulai penelusuran di internet untuk mencari kabar seputar berakhirnya siaran BTVID. Tidak banyak, bahkan cenderung tidak ada kabar mengenai berakhirnya operasional BTVID. Satu-satunya berita yang mengarah kepada apa yang saya cari adalah, berita mengenai Managing Director BTVID yang seorang pekerja asing, resign dari BTVID per 1 Juli 2015, dan bergabung dengan perusahaan lain di Hongkong, kalau saya tidak salah menerjemahkan artikel tersebut. Tapi, satu berita ini bisa menjadi alasan kuat mengapa BTVID berakhir. Bisa dibilang Managing Director adalah “posisi vital” dalam sebuah perusahaan. Saya agak bingung apakah harus menganalogikan “posisi vital” ini dengan “otak” atau “jantung”. Tapi, intinya, ketika terjadi goncangan pada posisi ini, bisa dipastikan perusahaan akan kolaps. Berkaitan dengan resign-nya, artikel ini juga menyoroti mengenai singkatnya masa kerja individu ini yang hanya 2 tahun bertahan di sebuah perusahaan sekelas Bloomberg, walaupun secara individu tidak bisa disalahkan juga mengenai singkatnya masa kerja seseorang, karena bisa saja memang perusahaannya yang “sulit untuk maju”.

(((UPDATE))) Paul O’Brien, mantan Managing Director BTVID mengonfirmasi bahwa ia resign dari BTVID pada November 2014, bukan 1 Juli 2015 seperti pada artikel yang saya baca dan terjemahkan di atas. Konfirmasinya bisa dibaca di bagian komentar artikel ini. Penulis memohon maaf atas kesalahan informasi dan dengan adanya paragraf update ini menjadi ralat atas informasi sebelumnya.

Hingga akhirnya penelusuran saya berakhir di sosial media. Dari penelusuran saya inilah, akhirnya, saya bisa meyakinkan diri untuk menulis artikel ini, bahwa Bloomberg TV Indonesia alias BTVID sudah benar-benar berakhir.

Sekarang, kita beralih ke alasan mengapa Bloomberg TV Indonesia saya sebut sebagai yang “terbaik”.

Pertama, saya sebut Bloomberg TV Indonesia adalah TV franchise terbaik, karena kontennya yang ditawarkan kepada pemirsa Indonesia. Jarang sekali ada TV yang menawarkan edukasi bisnis secara mendalam. Ini adalah sesuatu yang beda sekaligus menarik, karena ke depan masyarakat Indonesia diprediksi akan meningkat kepeduliannya terhadap dunia bisnis.

Kedua, BTVID adalah TV franchise terbaik karena standardnya yang tinggi. Standard ini patut dicontoh oleh TV lain di Indonesia, terutama TV berita, dalam hal keterbaharuan informasi. Bisnis dan pasar saham adalah dua hal yang perkembangannya cepat, tidak bisa diprediksi, tapi harus terus diikuti selama kita berkecimpung di dalamnya. Posisi BTVID yang menempatkan diri sebagai TV berita bisnis mengharuskannya untuk terus update real-time. Standard lainnya adalah masalah penayangan yang selalu tepat waktu, tidak terlambat walaupun 1 menit.

Terakhir, salah satu poin terpenting mengapa saya menyebut BTVID sebagai TV franchise terbaik: Bloomberg TV Indonesia menjadi pemicu berdatangannya TV franchise lain. Memang, BTVID bukan yang pertama. Ada viacom dengan MTV Indonesia yang diikuti dengan VH1 Indonesia nya, tapi kedua brand ini kemudian “ditenggelamkan” oleh MNC, dan disisakan nickelodeon saja, itupun sebenarnya hanya impor program, bukan buka cabang. Tapi, walaupun MTV Indonesia sempat hilang dari udara Indonesia, akhirnya MTV Indonesia kembali hadir di layar kaca nusantara dengan joint venture company yang baru, walaupun sekarang ini masih terbatas di beberapa kota besar di Indonesia melalui beberapa TV lokal. MTV Indonesia kembali hadir setahun setelah BTVID mengudara. Terkini, CNN Indonesia menyusul. CNNID memang sudah dirancang dari beberapa waktu sebelumnya, tapi baru berani melangkah di bulan Agustus 2015 ini, bulan yang sama dengan berakhirnya perjalanan BTVID. Sehingga, saya bisa menyebut Bloomberg TV Indonesia adalah, sekali lagi, trigger atau pemicu munculnya kembali TV franchise di Indonesia dengan kualitas konten yang tidak perlu diragukan lagi.

Kesedihan mendalam saya untuk Bloomberg TV Indonesia. Semoga suatu saat nanti Bloomberg TV Indonesia bisa kembali mengudara dengan joint venture company yang baru, karena saya mencatat adanya review postif untuk stasiun televisi ini walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Artinya, “konten yang mengedukasi itu tidak menarik” sudah harus kita hilangkan dari daftar “mitos yang menyeramkan”, karena Bloomberg TV Indonesia berhasil membuktikannya, walaupun hanya dalam waktu yang sangat singkat, hanya 2 tahun, dan masih dalam skala yang kecil.

So long, Bloomberg TV Indonesia…

Untuk mengenang the first steps atau langkah-langkah awal Bloomberg TV Indonesia, sila klik tautan ini.

Pertanyaan terakhir: adakah pembicaraan mengenai akuisisi BTVID oleh Bosowa Group gagal?


17 Agustus 2015, Dua Embrio TV FTA Terestrial Skala Nasional Lahir

Kenapa saya tulis skala nasional pada judul artikel ini? Sederhana, karena kita tidak lagi boleh menyebut kata TV Nasional, melainkan TV Berjaringan.

Oke, dua embrio. Jadi begini, ada dua TV yang meresmikan diri. Keduanya disiarkan dari Jakarta, tapi punya cara masing-masing dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat Indonesia. Asalnya pun berbeda: yang pertama dari Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; yang kedua dari Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.

Mari kita bahas produk lokal dulu. Stasiun TV asal Surabaya yang disiarkan dari Jakarta itu bernama jawapos tv. Dari namanya sudah cukup jelas kan? Jadi, kita tidak perlu gali lebih dalam tentang siapa pemiliknya. Hal yang perlu digali sekarang adalah apa rencana ke depannya.

Televisi ini memulai siarannya di pukul 06.00 WIB, siaran perdana dengan program Nusantara Kini. Ini adalah program pagi yang jamak kita ketahui akhir-akhir ini. Belakangan, saya dapat informasi bahwa Nusantara Kini juga disiarkan di malam hari.

Di Jawa Timur, jawapos tv disiarkan melalui jtv. Di Surabaya, mungkin SBO TV juga ikut menyiarkan. Di jtv, ketika Nusantara Kini disiarkan, logonya berpindah ke kanan, ditampilkan bergantian dengan logo jawapos tv, sedangkan ketika iklan, logo jtv kembali ke kiri, tanpa bergantian dengan logo jawapos tv. Menariknya, ternyata di luar Jawa Timur, televisi lokal di bawah jaringan Jawa Pos juga me-relay jtv, walaupun laporan di grup facebook davenirvana1 World menyebutkan beberapa TV lokal lainnya masih ada yang belum bergabung dengan jtv ketika program Nusantara Kini. Inilah alasan mengapa logo jtv berpindah ke kanan ketika ada siaran Nusantara Kini, karena sebagian besar TV lokal di bawah Jawa Pos logonya ada di sebelah kiri, dan harus me-relay jtv ketika Nusantara Kini.

Bicara tentang laporan, sebenarnya sedikit sekali informasi yang terkumpul mengenai jawapos tv. Informasi keberadaan stasiun TV ini baru terdeteksi pada 16 Agustus 2015, ketika anggota davenirvana1 World mulai berbagi file gambar logo jawapos tv. Banyak yang belum berani mengonfirmasi keberadaan stasiun TV ini karena sedikitnya informasi.

Logo jawapos tv sendiri secara filosofis tidak beda jauh dari jtv, dan langsung bisa saya baca ketika kali pertama saya lihat logo jawapos tv. Ada peta dan ada identitas. Jika logo jtv berbentuk Provinsi Jawa Timur, maka sebaran kecil yang kita lihat di logo jawapos tv adalah negara Indonesia, yang diwakili oleh pulau-pulau besar Indonesia. Bedanya: jika jtv menggunakan kombinasi warna gelap-terang (biru tua dan oranye); jawapos tv menggunakan kombinasi warna yang segar (biru langit dan hijau muda). Sayangnya, ketika muncul di layar, logo jawapos tv tidak nampak dengan jernih.

Secara tampilan, jawapos tv mengidentikkan diri sebagai stasiun TV modern, jika melihat set studio Nusantara Kini. Begitu juga rasio layarnya, yang sudah menggunakan 16:9 dan ditampilkan letter box pada stasiun TV 4:3 seperti jtv.

Menurut @jtv_rek ketika saya konfirmasi, jawapos tv adalah brand nasional yang sedang diuji coba. Jika melihat kata “uji coba”, maka bisa kita pastikan bahwa stasiun TV ini memang belum akan beroperasi sepenuhnya. Pertanyannya sekarang: kapan jawapos tv akan resmi mengudara secara penuh? Apakah izin siarnya sudah turun? Apakah JPTV yang sering disebut-sebut di kalangan pengguna TV digital di Jakarta adalah jawapos tv? Apakah jtv masih jadi induk jaringan atau akan dialihkan ke jawapos tv? Kenapa masih harus relay jtv kalau sudah ada jawapos tv? Ada di satelit mana feed jawapos tv? Kita tunggu dalam beberapa waktu ke depan. By the way, pertanyaan terakhir harusnya jadi hal yang bikin penasaran para pengguna satelit, hehehe.

Embrio lainnya tumbuh di Tendean, markas TRANS Corp. Namanya adalah CNN Indonesia. Seperti yang saya bilang, yang satu ini berasal dari Atlanta, Georgia, AS. CNN Indonesia adalah hasil kerjasama TRANSMEDIA dan Turner. CNN Indonesia menjadi brand ketiga setelah MTV dan Bloomberg yang merupakan brand impor dan “buka cabang” di negara ini.

CNN Indonesia menjadi TV berita yang saat ini mengudara secara terbatas. Mengudara dengan rasio 16:9, CNN Indonesia mulai dinikmati pengguna TRANSVISION sejak 3 Agustus 2015. Namun, CNN Indonesia menyebut Siaran Perdana berlangsung pada program Indonesia Bisa, 17 Agustus 2015. Program ini disiarkan simulcast (lebih tepatnya sebenarnya adalah relay), selain di CNN Indonesia sendiri, juga disiarkan di TRANS TV dan TRANS 7.

Sebagai TV berita impor, CNN Indonesia nampaknya masih belum dapat mengadopsi satu hal dari CNN di Amerika: waktu. Saya rasa akan cukup adil ketika saya membandingkan CNN Indonesia dan Bloomberg TV Indonesia untuk urusan waktu ini. Bloomberg TV Indonesia bisa menyiarkan program tepat pada waktunya, jika dibandingkan dengan EPG TV berbayar; sedangkan CNN Indonesia punya “penyakit” yang sama dengan TRANS TV dan TRANS 7, yaitu program yang disiarkan lebih awal beberapa menit atau justru berakhir terlambat. Contoh sederhananya, Indonesia Bisa berakhir di jam 12:09, sedangkan EPG di TV berbayar menuliskan bahwa siaran berakhir tepat pukul 11.59 WIB. Dalam beberapa kesempatan, saya amati dari TV berbayar di kantor radio yang operatornya berbeda dari TV berbayar yang ada di rumah (harusnya pembaca bisa tebak apa kira-kira operator TV berbayar di kantor saya. Kalau perlu clue: TV kabel berbayar, bukan TV satelit berbayar, bisa di-rewind :p), CNN Indonesia mengawali program lebih awal beberapa menit, misalnya program yang dijadwalkan pukul __.00 WIB, dimulai pada __.58 WIB, atau 2 menit lebih awal.

Sedangkan untuk tampilan on-screen graphic lainnya, secara umum hampir sama, hanya saja logo CNN Indonesia sedikit lebih kecil dari logo CNN International maupun CNN Amerika. Font yang digunakan di newsticker juga berbeda.

Sejauh yang saya ketahui, CNN Indonesia baru tersedia melalui streaming di website CNN Indonesia, serta TV berbayar TRANSVISION dan UseeTV saja, belum ke operator TV berbayar lain apa lagi ke terestrial.

Selamat memulai kehidupan di Indonesia, jawapos tv dan CNN Indonesia. Semoga segera menyentuh masyarakat yang lebih luas 🙂

UBTV Malang Resmi Pindah ke 57 UHF

Setelah sebelumnya sempat menginformasikan via running text, mulai 28 Juli 2015 stasiun televisi milik Universitas Brawijaya, UBTV, resmi berpindah ke 57 UHF analog.

Pantauan melalui antena di Kota Malang mendapati siaran UBTV yang terus dipancarkan selama 24 jam (walaupun tidak ada program alias color bar saja, karena program hanya disiarkan beberapa jam dari sore ke malam hari) sudah tidak lagi terdeteksi di 56 UHF analog. Siaran UBTV kini bersebelahan persis dengan NET. di 58 UHF analog setelah sebelumnya bersebelahan persis dengan METRO TV di 55 UHF analog.

Perpindahan ini merupakan perpindahan kali kedua bagi UBTV. Sebelumnya, UBTV sempat mengudara di 51 UHF analog, dan kemudian berpindah ke 56 UHF. Tidak lama berselang dari kepindahan pertama tersebut, MHTV Malang mulai mengudarakan siarannya di 52 UHF analog.

Akankah perpindahan kali ini mengisyaratkan hal yang sama: “adanya stasiun televisi baru di Malang Raya?” Hal ini belum dapat saya pastikan hingga saat ini.

Sementara itu di kawasan Oro-Oro Ombo, Kota Batu, belum ada perkembangan mengenai bangunan transmisi baru. Pun demikian dengan pembongkaran, juga tidak terjadi. Padahal, ada beberapa stasiun televisi yang defunct alias tidak lagi beroperasi di Malang Raya, sebut saja NAA TV, mahameru tv, FTV, dan sejumlah nama lainnya. Dari pantauan saat ini ada salah satu tower yang “rumah”nya (karena tidak dalam bentuk gedung transmisi) memiliki tanda berupa stiker NAA TV, dengan beberapa panel box masih menempel di towernya.

Adapun “rumah” lainnya yang dulu dipergunakan mahameru tv dan dulu sempat ditulis “dalam sengketa” hingga kini nampak kosong dengan tower yang tetap berdiri tinggi menjulang bersama beberapa panel box di ujungnya. Ketika beroperasi dulu, mahameru tv mengudara di 52 UHF analog, dan saat ini frekwensinya digunakan oleh MHTV Malang yang transmisinya berada di “rumah” yang lain, dekat gedung transmisi rtv-METRO TV dan NET.

Sementara itu di Griya Coban Rais milik Batu tv sempat tampak ada pengerjaan pemasangan panel box di towernya bulan puasa lalu, sehingga kini kedua tower Batu tv telah terpasang panel box berwarna merah, setelah sebelumnya hanya satu tower yang ada panel boxnya. Setelah pengerjaan tersebut nampak ada perbaikan kualitas sinyal di 48 UHF analog. Belum saya ketahui apakah kedua tower itu memang difungsikan untuk aktivitas siaran Batu tv atau ada penyewa baru di sana. Kalaupun memang ada penyewa baru, perkiraan saya penyewa tersebut adalah AREMA TV yang mungkin masih melakukan konfigurasi pada perangkat transmisinya, karena saat ini hanya AREMA TV yang terdeteksi sebagai siaran baru di Malang Raya.

Perkembangan lainnya, GAJAYANA TV di 28 UHF analog baru saja melakukan penguatan daya untuk siarannya sehingga sempat menghentikan program dan hanya menyiarkan color bar dan logo serta running text beberapa hari lalu. Sementara itu “tetangga terdekat”nya, AREMA TV, justru kembali menghilang setelah lebaran lalu. Hingga kini siaran AREMA TV yang menggunakan 27 UHF analog belum kembali terdeteksi.